Beranda | Artikel
Keutamaan Belajar Hadits
Minggu, 3 Maret 2013

Urgensi Memahami Hadits

Mempelajari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah keutamaan yang amat agung, imam An Nawawi rahimahullah berkata,” Sesungguhnya diantara ilmu yang paling penting adalah mempelajari hadits-hadits nabi, maksudnya mempelajari matan-matannya, shahih, hasan, dan dla’ifnya, dan ilmu-ilmu hadits lainnya, buktinya adalah : bahwa sesungguhnya syari’at kita berdasarkan kepada Al Qur’an dan sunnah, dan sunnah adalah poros hukum-hukum fiqih, dan kebanyakan ayat-ayat hukum adalah bersifat global, dan penjelasannya ada dalam sunnah.

Para ulama bersepakat bahwa diantara syarat mujtahid baik dari qadli maupun mufti adalah berilmu tentang hadits-hadits hukum. Maka menjadi jelas bahwa menyibukkan diri dengan hadits adalah kebaikan yang paling utama dan taqorrub yang paling agung…”.[1]

Al ‘Allamah Asy Syihab Ahmad Al manini Ad Dimasyqi rahimahullah berkata,” Sesungguhnya ilmu hadits adalah ilmu yang mempunyai kedudukan tinggi, kebanggan yang agung, dan sebutan yang mulia. Tidak ada yang memperhatikannya kecuali ulama dan tidak ada yang terhalang darinya kecuali orang-orang yang bodoh, dan kebaikan-kebaikan ilmu hadits tidak pernah habis sepanjang zaman…”.[2]

Diantara keutamaan mempelajari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah:

Menambah cahaya wajah

Nabi Shallalahu ‘alaihi wasallam mendo’akan orang yang mempelajari hadits Nabi agar diberikan cahaya di wajahnya, beliau bersabda :

 نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا وَحَفِظَهَا وَبَلَّغَهَا فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ وَمُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ فَإِنَّ الدَّعْوَةَ تُحِيطُ مِنْ وَرَائِهِمْ

            “Semoga Allah memberikan nudlrah (cahaya di wajah) kepada orang yang mendengarkan sabdaku lalu ia memahaminya, menghafalnya dan menyampaikannya, berapa banyak orang yang membawa fiqih kepada orang yang lebih faqih darinya, ada tiga perkara yang tidak akan dengki hati muslim dengannya: mengikhlaskan amal karena Allah, menasehati pemimpin kaum muslimin dan berpegang kepada jama’ah mereka karena do’a mereka meliputi dari belakang mereka”.[3]

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata,” Kalaulah tidak ada keutamaan menuntut ilmu (hadits) kecuali hadits ini, cukuplah ia sebagai kemuliaan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendo’akan untuk orang yang mendengar sabdanya, memahami, menghafal dan menyampaikannya. Inilah martabat-martabat ilmu ; yang pertama dan kedua adalah mendengarkan dan memahaminya dengan hati maksudnya mengikatnya dan menjadi tetap di dalam hatinya…

Yang ketiga adalah menghafalnya sehingga tidak melupakannya, dan yang keempat adalah menyampaikan dan menyebarkannya kepada umat sehingga tercapai maksud dan buahnya yaitu menyebarkannya kepada umat, karena ia bagaikan harta karun yang terpendam di dalam bumi yang apabila tidak dipergunakan ia akan segera hilang. Ilmu bila tidak diinfakkan dan diajarkan akan hilang, namun bila diinfakkan ia akan berkembang dan bertambah.

Barangsiapa yang melaksanakan empat martabat ini, ia termasuk ke dalam do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut yang mengandung keindahan lahir dan batin. Karena nudlrah adalah keindahan dan keelokan yang menghiasi wajah akibat pengaruh iman, kebaikan batin, kegembiraan hati, dan merasakan kelezatannya yang semuanya itu tampak sebagai cahaya di wajah.”[4]

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata,” Tidak ada seorangpun dari ahli hadits kecuali di wajahnya terdapat cahaya berdasarkan hadits ini.”[5]

Hadits di atas memberikan motivasi kepada kita untuk mempelajari hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, memahaminya, menghafalnya dan menyampaikannya kepada orang lain, oleh karena itu setiap kita berusaha dan berlomba-lomba untuk memahami hadits dan mengamalkannya dalam kehidupan kita, dan mendahulukannya dari perkataan siapapun.

Membela syari’at.

Nabi shallallau ‘alaihi wasallam bersabda :

يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُولُهُ يَنْفُونَ عَنْهُ تَأْوِيلَ الْجَاهِلِينَ وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِينَ وَتَحْرِيفَ الْغَالِينَ  .

            “Yang membawa hadits ini di setiap generasinya adalah orang-orang yang ‘adil, mereka meniadakan perubahan yang dilakukan oleh orang-orang yang ekstrim, pemalsuan orang-orang yang memalsukan, dan penafsiran orang-orang yang bodoh”.

Al Qasthalani rahimahullah berkata,” Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa shahabat diantaranya Ali, ibnu Umar, ibnu ‘Amru, ibnu Mas’ud, ibnu ‘Abbas, Jabir bin Samurah, Mu’adz, dan Abu Hurairah. Dan ibnu ‘Adi menyebutkan banyak jalan yang semuanya lemah sebagaimana yang ditegaskanoleh Ad Daroquthni, Abu Nu’aim, dan ibnu ‘abdil Barr, akan tetapi menjadi kuat dengan banyaknya jalan sehingga menjadi hasan sebagaimana yang dipastikan oleh Al ‘Ala’i.”[6]

Imam An Nawawi rahimahullah berkata,” Ini adalah pengabaran dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai penjagaan ilmu, pemeliharaannya dan keadilan para perawinya, dan bahwasannya Allah ta’ala memberi taufiq disetiap zaman kepada generasi yang adil untuk membawanya dan meniadakan perubahan darinya sehingga tidak hilang begitu saja.”[7]

Al Qasimi rahimahullah berkata,” Di dalam hadits ini terdapat penghususan para pembawa sunnah dengan keistimewaan yang tinggi, pengagungan terhadap umat Muhammad, menjelaskan tentang mulianya kedudukan ahli hadits, dan tingginya martabat mereka di jagat raya. Karena mereka yang memelihara syari’at dan matan-matan riwayat dari perubahan yang dilakukan oleh orang-orang yang ekstrim dan penafsiran orang-orang bodoh dengan cara menukil nash-nash yang muhkamat untuk menjelaskan nash-nash yang mutasyabih (samar).”[8]

Al Khathib Al Baghdadi dalam mukadimah kitabnya “Syaraf ashhabil hadits”[9] berkata,” Allah telah menjadikan ahli hadits sebagai tonggak-tonggak syari’at, dengan mereka Allah hancurkan semua bid’ah yang buruk, mereka adalah umana (orang-orang yang terpercaya) Allah untuk makhluk-Nya, perantara antara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan umatnya.

Mereka telah bersungguh-sungguh menjaga agamanya, cahaya mereka gemerlap, keutamaan mereka amat banyak, madzhab mereka menang, hujjah mereka amat kuat. Setiap kelompok biasanya rujuk kepada hawa nafsunya dan menganggap baik ro’yunya kecuali ashhabul hadits, mereka menjadikan Al Qur’an sebagai kekuatannya, dan sunnah sebagai hujjahnya. Mereka tidak pernah merujuk kepada hawa nafsu tidak pula menengok kepada ro’yu, mereka hanya menerima apa yang diriwayatkan dari Rosul…”

Imam Asy Syafi’I berkata,” Kalau bukan karena adanya ahli hadits, tentu orang-orang zindiq berani berkhutbah di mimbar-mimbar”.[10]


Artikel asli: https://cintasunnah.com/keutamaan-belajar-hadits/